Memahami
chart saham yang sedang down trend di kala market sedang crash jauh lebih sulit
daripada memahami chart saham yang sedang down trend di kala market yang sedang
“jinak”.
Pada saat
market sedang crash, biasanya kecepatan turunnya saham lebih besar daripada
kecepatan naiknya. Ini mungkin disebabkan investor lebih mudah “takut” daripada
lebih “berani”. Dalam situasi yang seperti ini.
Ketika
market sedang crash, sebagian besar saham juga crash, maka menentukan titik
masuk yang tepat adalah sangat sulit.
Menentukan
titik masuk lewat support line dari trend line juga cukup berbahaya karena
gampang ditembus. Menggunakan Fibonacci retracement juga sama risikonya.
Pendekatan
terbaik untuk menentukan titik saham ketika market sedang crash adalah lewat
pendekatan persentase dengan rumus masuk ketika crash lebih kurang 15% pada
tiap gelombangnya. Pendekatan persentase
ini lebih ke pendekatan psikologis.
Market
crash biasanya didasari alasan fundamental ekonomi sehingga terjadi kepanikan
pasar yang besar. Jika alasan fundamental adalah ekonomi domestik, maka
diperkirakan akan terjadi resesi atau depresi domestik.
Suatu
market dapat dikategorikan crash jika turun tidak kurang dari 15% dalam waktu di bawah
satu bulan. Manakala market sedang crash, maka akan banyak saham yang jatuh
lebih dari 20%-30% dalam waktu satu bulan.
Awal crash
merupakan waktu yang paling berbahaya. Jadi waktu yang terbaik adalah masuk
ketika market sedang crash pada persentase kisaran 15%-20%. Dalam masa-masa
market crash juga terdapat hari-hari reboundnya yang tajam. Ketika rebound itulah maka waktu yang
tepat untuk melakukan penjualan dengan harapan keuntungan 1/3 dari jumlah
penurunan. Misalnya membeli saham yang turun 30% maka dapat dijual jika saham
telah naik 10%.
Pada bulan Agustus 2011, IHSG crash dari angka 4.130 sampai dengan low 3.590 sehingga turun 15%. Pada bulan September 2011 crash dari angka 3.841 sampai low 3.217 sehingga turun 19%.
Bagaimana kalau dibandingkan dengan tahun 2008? Pada tahun 2008 tingkat crash adalah sangat besar dan waktu itu benar-benar terjadi resesi global. Saham-saham komoditas juga tumbang tak kira-kira karena harganya turun sangat signifikan.
Apakah tahun ini juga seperti tahun 2008? Ya, kita ikuti saja. Kalau seperti itu, maka baiknya kita menunggu kejatuhan yang lebih besar daripada hanya sekedar 15%-20% tiap gelombangnya.
Jika kita yakin tidak ada resesi seperti tahun 2008, maka crash kali ini adalah kesempatan untuk membeli lebih murah.
IHSG
nampaknya telah memulai crash pada bulan ini dari angka 4.610 menjadi 4.169,827 pada penutupan 23/08/2013 sehingga turun sebesar 10,57%. Jika dihitung ke low maka menyentuh angka 13,49%. Sangat banyak saham
yang tumbang lebih dari 20%. Saat yang aman untuk masuk pada bulan ini adalah menunggu IHSG
berkisar turun 15% di sekitar angka 3.920.
Cari saham yang turun lebih dari 30%
dengan kriteria fundamental tidak terpengaruh dengan kenaikan USD. Tidak banyak
hutang USD. Tidak banyak terpengaruh dengan kenaikan bunga. Sehingga diharapkan
cepat rebound.
Karena tujuannya hanya untuk trading maka mesti melakukan profit taking jika tujuan telah tercapai. Kalau pun belum tercapai tetapi saham tidak cukup kuat untuk rebound maka tetap harus cepat dijual.
Perlu ditambahkan bahwa definisi resesi ekonomi adalah jika terjadi pertumbuhan ekonomi riil negatif selama dua kuartal berturut-turut atau selama setahun. Jadi apakah Indonesia sedang menghadapi resesi?
Resesi secara mikro mungkin juga dapat dilihat dari kinerja emiten-emiten besar. Apakah terjadi pertumbuhan negatif dibandingkan dengan tahun lalu?
Resesi secara mikro mungkin juga dapat dilihat dari kinerja emiten-emiten besar. Apakah terjadi pertumbuhan negatif dibandingkan dengan tahun lalu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar