Selasa, 23 Juli 2013

Bermain Saham Sebagai Profesi?



Zaman sekarang untuk menjadi karyawan bidang tertentu sebagai profesi semakin dituntut untuk mempunyai kemampuan yang semakin tinggi.

Banyak syarat yang harus dipenuhi oleh pencari kerja dewasa ini yang sebenarnya syarat tersebut banyak yang diskriminatif.

Nah, daripada Anda pusing-pusing untuk mencari profesi impian di suatu perusahaan, Anda sebenarnya bisa mencoba profesi sebagai Pemain Saham.

Kedengarannya masih aneh? Anda benar sekali karena sebenarnya profesi pemain saham belum banyak dilakoni orang.

Sebagai pemain saham Anda bukan karyawan lagi dan menjadi bos untuk diri sendiri. Ingin berprofesi sebagai dokter, pengacara, notaris, konsultan...Anda dituntut untuk mempunyai ilmu-ilmu di bidang tersebut yang jika Anda ingin tuntut ilmunya memakan waktu yang sangat lama.

Apakah menjadi pemain saham juga memerlukan ilmu tertentu? Bisa iya jika Anda memang ingin menjadi pemain saham yang punya kemampuan cukup dalam waktu yang cepat, bisa juga tidak karena Anda sebenarnya dapat belajar sambil bekerja.

Sekalipun Anda cacat anggota tubuh, Anda tuli, Anda bisu, Anda jelek, Anda pendek, Anda terlalu tinggi, Anda terlalu gemuk, Anda terlalu kurus, Anda sudah tua, Anda masih terlalu muda, Anda dari suku tertentu, Anda tidak bisa berbahasa asing, Anda beragama tertentu...Anda tetap bisa jadi pemain saham. 

Menjadi pemain saham sudah hampir sama dengan berwirausaha. Menarik bukan jika Anda setingkat dengan pengusaha? Anda beranjak dari level karyawan menjadi level bos. Menjadi bos bagi diri sendiri. Mempunyai waktu libur yang bebas. Bebas kemana saja. Mau ambil cuti tidak perlu minta persetujuan atasan atau bos lagi. Tidak perlu terpaksa bekerja karena gaji padahal tidak cocok dengan bidang yang sedang dikerjai, tidak cocok dengan atasan, tidak cocok dengan rekan kerja, tidak cocok dengan lingkungan kerja. Yang juga penting, Anda tidak perlu capek-capek melakukan absensi.

Sudah siapkah Anda untuk menjadi pemain saham? Jika sudah, maka sebaiknya Anda mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan ilmu yang diperlukan.

Jika Anda masih bekerja, maka Anda tidak perlu keluar dari pekerjaan sekarang karena Anda bisa belajar ilmu untuk menjadi pemain saham sambil tetap bekerja.

Jika Anda belum bekerja, (Anda sebenarnya beruntung karena Anda tidak perlu capek-capek membuat surat pengunduran diri) Anda bisa manfaatkan waktu banyak Anda dengan menuntut ilmu untuk menjadi seorang pemain saham.

Jika Anda nekat dan ingin langsung menjadi pemain saham juga tidak ada yang melarang.

Ilmu apa yang berguna sebagai pemain saham? Ya, yang pokok adalah ilmu analisis fundamental dan ilmu analisis teknikal.

Analisis fundamental mengkaji isi dari sebuah perusahaan mulai dari laporan keuangannya, rasio keuangannya, dividennya, laba per lembar sahamnya, valuasinya, prospeknya, sampai dengan kondisi ekonomi makro.

Analisis teknikal mengkaji berbagai kemungkinan harga berdasarkan pada grafik harga dan volume yang telah lalu. Mempelajari kapan mesti membeli kapan mesti menjual. Bidang ini menggunakan banyak alat bantu misalnya pola grafik, bentuk grafik, garis tren, garis resisten dan support, berbagai indikator yang semuanya berguna untuk meramalkan harga ke depan.

Kedengarannya masih sulit? Mestinya tidak.

Dibandingkan dengan dahulu, sekarang ini koneksi ke internet telah begitu mudah dan sangat cepat. Anda bisa memperoleh bahan yang tidak terhingga untuk mempelajari ilmu yang diperlukan yang bersumber dari internet.

Bermain saham dewasa ini juga bisa dilakukan dengan perangkat mobile asalkan ada internetnya karena telah sangat banyak sekuritas yang menyediakan platform perdagangan online secara mobile. Jika Anda bekerja sambil bermain saham, Anda bisa menggunakan perangkat mobile untuk memantau pasar dan melakukan transaksi sambil sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh bos, atasan, atau rekan kerja yang lain.

Namun, ternyata menjadi pemain saham tidaklah gampang. Tidak segampang Anda menjadi karyawan yang risikonya sangat kecil biarpun masih ada.

Karena pemain saham sudah sama dengan pengusaha, maka risiko yang dihadapi adalah sama besar atau lebih besar. Konon katanya 80% pemain saham mengalami kegagalan.Kemudian 10% hanya kerja sosial karena cuma balik modal. Sisanya 5% untung seadanya. Terakhir 5% antara untung besar dan sangat besar.

Masih berniat menjadi pemain saham? Ingin menjadi yang 5% terakhir?



Pasukan Die Hard

Puncak penutupan IHSG pada tahun ini tercipta pada tanggal 20 Mei 2013 sebesar 5.214,976. Penutupan tanggal 22 Juli 2013 adalah 4.678,983. Turun sebanyak 10,28%.

Namun ternyata masih banyak saham yang naik di antara periode tersebut walaupun IHSG turun dalam.

Berikut ini adalah daftar saham-saham yang naik di antara periode tersebut dengan kapitalisasi 10 triliun ke atas.




Senin, 22 Juli 2013

Membaca Arah Pasar dengan Indikator AD Line

Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk membaca arah pasar adalah breadth indicator.

Breadth indicator adalah indikator yang diperoleh dengan menghitung selisih antara jumlah saham yang naik dengan jumlah saham yang turun.

Advance Decline Line (AD Line) merupakan salah satu breadth indicator  yang paling sederhana dari sekian banyak breadth indicator yang lain sehingga paling mudah untuk dipahami.

Rumus untuk mencari angka AD Line adalah menambah angka AD Line sebelumnya dengan selisih antara jumlah saham yang naik dengan jumlah saham yang turun pada suatu periode (tanggal).

A/D Line = (Advancing Stocks - Declining Stocks) + Previous Period's A/D Line Value

Variasi lain breadth indicator adalah dihitung dengan menggabungkan volume dari saham yang turun dan yang naik dengan jumlah saham yang naik dan yang turun. Beberapa breadth indicator lainnya adalah Arms Index, Advance Decline Index, Breadth Trust Index dan Absolute Breadth Index.

Breadth indicator bisa menunjukkan arah dan sentimen market, tingkat kekuatan market sekarang dan kemungkinan perubahan arah market.

Jika market sedang bullish yang ditunjukkan oleh indeks market yang sedang naik, tetapi AD Line sedang dalam tren sebaliknya maka ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya market telah kehilangan kekuatannya dan bakal berubah arah. Begitu juga sebaliknya, jika market sedang bearish, tetap AD Line menunjukkan arah kenaikan bisa berarti bahwa market bakal berubah arah menjadi bullish.

Breadth indicator bisa jadi juga menunjukkan apa sebenar yang sedang "dikerjakan" oleh market maker atau "bandar" dan "rencana-rencana" mereka yang sebenarnya.

Berikut ini dalah bagan perbandingan antara AD Line market BEI dengan IHSG dari 31 Maret 2013 sampai dengan tanggal 19 Juli 2013. Angka AD Line awal saya pakai nilai 100. IHSG ditunjukkan oleh garis berwarna putih dan AD Line ditunjukkan oleh garis berwarna hitam.


Dari bagan di atas terlihat jelas kalau antara awal April 2013 sampai dengan akhir Mei 2013, AD Line sebenarnya menunjukkan tren penurunan. Jika dibandingkan dengan tren IHSG sendiri maka telah terjadi divergence. Pada akhirnya IHSG mengkonfirmasi divergence tersebut dengan penurunan yang dalam. Setelah itu dapat kita lihat bahwa sampai dengan data terakhir 19 Juli 2013, tren IHSG dengan AD Line masih searah.






Minggu, 21 Juli 2013

Redenominasi Akan Menyebabkan Reverse Stock Split?


Pemerintah dan BI berencana untuk mulai melakukan redenominasi pada tahun 2017 apabila UU tentang redenominasi rupiah disahkan oleh DPR.

Jika itu benar adanya maka yang paling cepat diharuskan untuk melaksanakan  redenominasi itu adalah bank dan pasar modal.

Dengan rencana menghilangkan 3 angka nol di belakang, otomatis saham yang berharga Rp 1.000 akan menjadi Rp 1. Bagaimana dengan saham yang berharga Rp 100? Untunglah, nanti bakal adalah pecahan sen sehingga Rp 100 harusnya akan menjadi menjadi 10 sen karena 100 sen harusnya adalah Rp 1.

Namun bagaimana dengan saham di bawah Rp 100? Bagaimana dengan fraksi harga?

Oleh karena satuan rupiah terkecil nantinya adalah 1 sen, maka fraksi harga paling kecil nantinya juga adalah 1 sen. Otomatis jika mengacu pada fraksi harga terendah sekarang sebesar Rp 1 untuk saham Rp 50 sampai dengan Rp 100, maka fraksi harga terendah nantinya adalah 1 sen untuk 50 sen dan 100 sen (Rp 1).

Nilai 50 sen dan 100 sen (Rp 1) adalah sama dengan nilai sebelum redenominasi masing-masing Rp 500 dan Rp 1.000. Artinya menjelang redenominasi nanti apakah harga saham akan dibundel atau di-reverse stock split? Nampaknya jawabannya harus "IYA" karena perubahan 1 sen pada harga 5 sen adalah 20% kalau tidak terjadi pembundelan. Sehingga mau tidak mau harga mesti dibundel.

Dan untuk mengimbangi nilai pembundelan tersebut, nampaknya satuan lot juga akan diubah menjadi cukup kecil, misalnya 1 lot menjadi 50 lembar supaya nilainya sama dengan harga sebelum redenominasi.

Berikut adalah tabel perbandingan sebelum dan setelah redenominasi untuk saham harga terbawah dengan tanpa pembundelan saham + tanpa perubahan satuan lot dan dibandingkan dengan sebelum dan setelah redenominasi dengan  pembundelan saham + perubahan satuan lot. Harga dibundel sebanyak 10 kali, fraksi harga terkecil adalah 1 sen dan 1 lot adalah 50 lembar.






Investor Yang Salah Persepsi


Saya mendengar pernyataan ini dari investor saham lama:

  • Harga saham di atas Rp 10.000 sudah terlalu mahal dan harga saham di bawah Rp 1.000 masih murah apalagi saham di bawah Rp 100. (Mahal murahnya harga saham harusnya dibandingkan dari sisi fundamentalnya, misalnya EPS berapa, PER berapa)
  • Harga saham di atas Rp 10.000 juga tidak akan naik/turun (%) sebesar saham Rp 1.000 atau Rp 100. (Ternyata yang dilihat adalah kenaikan 1, 2 atau 3 hari saja. Untuk jangka lebih lama kenyataannya tidak ada perbedaan yang berarti. Yang sering terjadi adalah karena biasanya harga saham di atas Rp 10.000 yang aktif kebanyakan adalah saham bluechips, pergerakan harganya lebih tidak fluktuatif)
  • Kalau membeli saham harga Rp 10.000 modalnya besar, sehingga hanya membeli saham harga Rp 1.000. (Padahal investasinya lebih dari Rp 100 juta). (Kalau dibagi dengan nilai investasinya untuk sebuah saham, hanya jumlah lot yang berbeda modalnya ya sama besar)

Saya kenal investor lama:

  • Yang doyan beli waran saham X, Y, Z karena harganya "sangat murah" cuma beberapa rupiah sehingga kalau naik maka cuan akan sangat besar. (Yang tidak disadari adalah harga fundamental dari sang induk dan belum lagi waktu penebusan waran sudah mendekati expired)
  • Yang doyan saham gorengan X, Y, Z karena sering "dinaikkan" tinggi. (Ya kembali lagi ke sisi fundamental dan mesti dipikirkan kalau "diturunkan" tinggi bagimana)
Saya tahu investor yang menggunakan analisis fundamental yang mengatakan:
  • Saham X harusnya tidak setinggi saham ASII karena ASII adalah perusahaan dengan fundamental terbaik kalaupun naik saham X "digoreng". (Oke, mungkin ASII adalah saham paling bagus, namun bukan berarti saham bagus lainnya tidak akan lebih mahal daripada ASII. Sebab mahal tidaknya sebuah saham masih sangat ditentukan oleh jumlah EPS-nya. Selain itu tampaknya investor tersebut belum melakukan "bedah" apa pun terhadap saham X tersebut)
  • Saham X masih murah karena PER saham X cuma di bawah 5x, apalagi jika dibandingkan dengan PER industri yang 15x. (Rupanya patokannya cuma PER. Selain itu tampaknya patokannya adalah laporan laba rugi terkini yang labanya ternyata banyak disumbangkan oleh laba lain-lain. Jadi investor tersebut belum melakukan "bedah" lanjutan terhadap emiten tersebut)
 

Reverse Stock Split Diwajibkan?



Tabel di atas merupakan daftar saham harga Rp 50 yang harga jualnya mentok offer di Rp 50 di luar dari saham harga Rp 50 yang sedang disuspen per 19 Juli 2013.

Nilai kapitalisasinya tidaklah sedikit karena masih ada Rp 14 T.

Selain harga saham yang tidak likuid karena harganya yang "sangat tinggi", di BEI ternyata juga tersedia saham yang tidak likuid karena harganya "sangat murah". "Sangat murah" ini sebenarnya diciptakan sendiri oleh BEI karena ketentuan harga saham minimal adalah Rp 50 di pasar reguler.

Nampaknya BEI terjepit dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Maka untuk menyiasati saham yang "terjebak" di angka Rp 50 supaya likuid lagi, pihak BEI dapat mewajibkan reverse stock split apabila harga saham tetap berada di angka Rp 50 dalam posisi offer selama lebih dari satu tahun.

Kebalikan dari stock split, maka reverse stock split adalah menggabungkan harga saham yaitu dengan cara menggabungkan jumlah lembar saham menjadi angka yang lebih kecil. Reverse stock split sebanyak 5 kali pada harga Rp 50 akan menyebabkan harga penyesuaiannya menjadi Rp 250 dan jumlah saham yang beredar akan berkurang menjadi 20% dari awal.

Investor yang memegang saham seharga Rp 50 selama ini merasa bisa "santai" karena sahamnya tidak mungkin turun lagi di bawah itu. Tidak sedikit yang menganggap harga Rp 50 adalah sangat murah. Jika harga Rp 50 tersebut sebenarnya jauh di atas nilai intrinsiknya, maka harga saham telah menciptakan sebuah "ilusi".



Stock Split Diwajibkan?


Saham paling tinggi harganya selama sejarah BEI adalah saham MLBI yang mana harganya per 19 Juli 2013 adalah Rp 1.400.000 per lembar, sedangkan harga tertingginya pernah mencapai harga Rp 1.500.000.

Dengan data tanggal yang sama, saham BUMN paling tinggi harganya adalah SMGR sebesar Rp 14.600 dan pernah mencatat harga tertinggi sebesar Rp 19.150.

Selain MLBI, masih ada 3 saham lain yang harganya di atas Rp 100.000, yaitu MERK Rp 215.000, SQBI Rp 318.000 dan DLTA Rp 360.000. Semuanya adalah saham-saham yang tidak likuid perdagangannya.

Untuk saham yang berada antara harga Rp 10.000 sampai dengan Rp 100.000 berjumlah 24 saham termasuk SMGR. Banyak saham yang tidak likuid di antara kelompok ini juga.

Kenapa saham-saham harga besar di atas tidak likuid? Selain karena faktor jumlah saham beredar di publik yang sangat minim, faktor lainnya tentu saja adalah harganya yang sangat tinggi sehingga modal yang harus dikeluarkan untuk membeli 1 lot saja sudah sangat besar. Bayangkan untuk membeli 1 lot saham MLBI harus dikeluarkan uang senilai Rp 700 juta.

Beberapa waktu lalu BEI telah mempunyai rencana untuk menurunkan jumlah lembar saham setiap lot dari 500 lembar menjadi 100 lembar  yang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas saham dan juga untuk meningkatkan jumlah investor retail kecil.

Menurut saya alangkah baiknya juga jika setiap emiten yang harga sahamnya telah melewati angka Rp 10.000 selama lebih dari 1 tahun, maka diwajibkan oleh BEI untuk melakukan pemecahan harga sahamnya alias stock split. Dengan stock split maka harga saham akan menjadi lebih terjangkau oleh investor retail kecil dan tentukan juga akan lebih likuid karena saham yang beredar menjadi lebih banyak.


Untuk saham di luar BUMN, maka harga saham wajib displit menjadi harga di bawah Rp 10.000. Sedangkan untuk saham BUMN wajib displit menjadi di bawah Rp 1.000 supaya benar-benar dapat dimiliki oleh semua investor.

Jika harga saham BUMN sekarang di atas Rp 10.000, bukannya cukup berat? Untuk membeli 1 lot saham seharga Rp 10.000 diperlukan dana sebesar Rp 5.000.000 sedangkan untuk harga Rp 1.000 cuma diperlukan dana sebesar Rp 500.000. Angka Rp 500.000 saya kira mampu dipenuhi oleh sebagian besar investor retail kecil.

Harga saham bukanlah penentu prestise sebuah perusahaan karena prestise sebenarnya tercipta dari nilai kapitalisasinya.







Strategi Saham Komoditas - Analisis Debt to Equity Ratio (DER)

Hutang sangat berguna ketika investasi atas hutang tersebut menghasilkan. Begitu juga sebaliknya, hutang akan membawa bencana jika investasi atas hutang tersebut merugikan.

Kalau hasil dari usaha setahun dengan modal sendiri adalah 20%. Maka dengan menambah hutang sebesar 100% dari modal, hasilnya akan menjadi 20% x 2 = 40% dikurangi dengan biaya bunga.

Kalau ternyata usaha tersebut menghasilkan kerugian 20%? Ya, kerugian bertambah menjadi 2 kali juga tentunya ditambah dengan biaya bunga lagi.

Oleh karena hutang adalah pedang yang bermata dua, maka kita perlu berhati-hati untuk menilai sebuah perusahaan apakah hutangnya memberikan hasil yang lebih baik atau sebaliknya.

Apakah perusahaan tersebut mampu mentrasfer kenaikan biaya bunga ke harga jual dan menaikkan volume atau tidak jika pada suatu kondisi menyebabkan biaya bunga meningkat karena suku bunga pinjamannya meningkat, jumlah hutangnya meningkat, atau hutang meningkat karena perubahan kurs dari hutang yang ada?

Selain itu, jika pada suatu kondisi terjadi perubahan penurunan penjualan, sedang di sisi lain hutang dan biaya bunga tidak dapat diturunkan seberapa besar dampaknya?

Untuk menganalisis tingkat kesehatan hutang dari sebuah perusahaan, salah satu rasio yang sering dipakai adalah rasio DER (debt to equity ratio) yang mana rumusnya adalah dengan membagi antara jumlah hutang dengan jumlah ekuitas.


Dari rumus di atas jika hutang semakin besar, maka rasio akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya. Apabila seluruh hutang adalah hutang yang menimbulkan bunga, maka semakin besar DER beban bunga juga akan semakin besar.

Berikut ini adalah tabel ilustrasi sensitifitas perubahan laba dibandingkan dengan perubahan suku bunga pinjaman.

Terlihat pada tabel di bawah ini, dengan kondisi yang sama, perusahaan dengan DER 0,5 akan mengalami penurunan laba sebesar 20% apabila suku bunga naik 100% dari 10% menjadi 20% dan perusahaan dengan DER 2 akan mengalami penurunan laba sebesar 50%.



Apa strategi yang dapat diambil berkaitan dengan analisis DER jika semakin tinggi DER dianggap semakin negatif?

  1. Jika pada suatu kondisi terjadi peningkatan suku bunga sedangkan di sisi lain perusahaan tersebut tidak mampu mentransfer kenaikan biaya bunga ke dalam harga jualnya dan tidak mampu menaikkan volume penjualan, maka laba perusahaan akan turun karena naiknya biaya bunga. Pada kondisi begini pilih perusahaan dengan DER yang paling rendah.
  2. Jika pada suatu kondisi terjadi peningkatan hutang akibat kenaikan kurs dari hutang tersebut dan perusahaan tidak mampu mentransfer biaya kenaikan hutang tersebut ke dalam harga dan volume penjualannya, maka laba perusahaan akan turun karena naiknya beban selisih kurs. Pada kondisi begini pilih perusahaan dengan DER yang paling rendah.
  3. Jika pada suatu kondisi terjadi peningkatan suku bunga sedangkan di sisi lain perusahaan tersebut dapat mentransfer kenaikan biaya bunga tersebut ke dalam harga jualnya, maka laba perusahaan akan tetap netral.Pada kondisi begini maka DER tidak begitu penting untuk diperhatikan. Misalnya kenaikan suku bunga dampaknya adalah netral untuk bank-bank berhubung bank dapat mentransfer kenaikan suku bunga hutangnya yang berasal dari dana pihak ketiga dan lainnya dengan menaikkan suku bunga kreditnya ke konsumen/debiturnya. Seperti kondisi akhir-akhir ini, bank mulai menaikkan suku bunga KPR.
  4. Jika pada suatu kondisi terjadi penurunan harga jual sedangkan di sisi lain biaya bunga perusahaan tersebut tetap, maka laba perusahaan akan turun jika perusahaan tidak mampu menaikkan volume penjualannya. Pada kondisi begini pilih perusahaan dengan DER yang paling rendah.


STRATEGI SAHAM KOMODITAS

Hutang tidak selamanya jelek. Semakin besar hutang, jika hutang tersebut menghasilkan, maka justru hutang tersebut sangat bagus. Jadi strategi di atas dapat dibalik ketika semakin tinggi DER dianggap semakin positif.

Dari poin 5 di atas, apabila dihadapkan pada perusahaan sektor komoditas, misalnya, pertambangan batubara, maka pilihan dapat dijatuhkan ke perusahaan dengan:

               DER yang paling rendah jika harga komoditasnya sedang dalam siklus turun.

Sebaliknya, pilihlah perusahaan dengan:

               DER yang paling tinggi jika harga komoditasnya sedang dalam siklus naik

Tapi tentunya perlu diperhatikan kondisi terkini atas aset-aset yang telah ditanamkan dari hutang-hutang tersebut. Apakah aset tersebut tinggal dipetik hasilnya atau belum? Jika belum, maka rumus kedua di atas belum dapat dipakai karena tidak ada kesempatan untuk memperoleh laba berlipat karena aset belum menghasilkan.

Bagaimanapun harus direnungkan juga, dengan modal sendiri hasilnya adalah -50% atau +50% dengan hutang hasilnya adalah -100% atau + 100%.

Dengan modal sendiri seandainya rugi pun, perusahaan mungkin rugi 50% dari modal saja (ROE -50%). Tapi kalau kondisinya sama dengan modal orang lain alias hutang, ruginya bisa menjadi 100% (ROE -100%) alias modal lenyap alias bangkrut.


Sabtu, 20 Juli 2013

Strategi Saham Komoditas - Analisis Gross Profit Margin (GPM)

Salah satu cara untuk menilai tingkat profitabilitas dari sebuah perusahaan adalah dengan menilai dari besaran Gross Profit Marginnya (GPM) atau margin laba kotor.

GPM dihitung dengan cara membagi laba kotor dengan penjualan.



Semakin besar GPM tentunya tingkat profitabilitas perusahaan semakin tinggi. Perusahaan dengan GPM yang tinggi akan menghadapi penurunan laba yang lebih kecil akibat penurunan harga jual daripada perusahaan dengan GPM yang rendah.

Apabila GPM sebuah perusahaan adalah 20% pada suatu tahun dan ternyata pada tahun selanjutnya harga jual turun 20% sedangkan volume penjualan tidak dapat ditingkatkan dan HPP (harga pokok penjualan) tetap, maka laba kotor perusahaan akan lenyap karena penjualan akan turun sebesar 20%.

Berikut ini tabel ilustrasi perbandingan sensitivitas perubahan harga jual terhadap perubahan laba sebelum pajak antara perusahaan dengan GPM awal sebesar 50%, 30%, dan 20% dengan anggapan HPP, biaya usaha dan biaya lainnya adalah biaya tetap dengan jumlah volume produksi juga tetap sebesar 1.

Terlihat bahwa perusahaan dengan GPM yang semula 50% akan menghadapi penurunan laba sebesar 25% jika harga turun 10% sedangkan perusahaan dengan GPM semula 20% akan menghadapi penurunan laba sebesar 100%. Sangat jauh sekali perbedaannya!

GPM sangat penting dianalisis terutama untuk perusahaan yang harga jualnya lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal sehingga perusahaan tidak dapat begitu saja menaikkan harga jual, misalnya, perusahaan sektor komoditas tambang dan perkebunan yang harga jualnya tergantung dengan harga komoditas dunia.

Jadi kalau mau berinvestasi di saham perusahaan sektor komoditas, maka pilihan dapat dijatuhkan ke perusahaan dengan:
                GPM yang paling tinggi jika harga komoditasnya sedang dalam siklus turun.
Sebaliknya, pilihlah perusahaan dengan:
                GPM yang paling rendah jika harga komoditasnya sedang dalam siklus naik
karena sebelumnya harga saham perusahaan tersebut dapat dipastikan jatuh lebih dalam karena labanya jatuh lebih besar sehingga ketika harga komoditas naik, maka labanya akan meningkat dengan pertumbuhan yang lebih besar daripada perusahaan dengan GPM yang tinggi.








Pertumbuhan Laba Sebagai Acuan PER


Jika PER ditetapkan sebesar 20x karena suku bunga deposito adalah 5%, apakah untuk semua saham PER yang wajar adalah 20x? Bagaimana kalau ada yang labanya tumbuh lebih baik daripada yang lainnya? Ada yang tumbuh 20%, 30% dan 50%?

Melihat kelemahan yang ada dari suku bunga deposito sebagai acuan PER terutamanya adalah kelemahannya karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan laba, maka dapat diambil kesimpulan bahwa acuan yang paling baik untuk menentukan PER adalah tingkat pertumbuhan laba jangka panjang.


                 PER WAJAR = PERTUMBUHAN LABA X 100

Jadi pertumbuhan 10% akan memperoleh PER 10x, 15% PER 15x dan 20% PER 20x, dst.


Meskipun sebenarnya dengan kekuatan bunga majemuk, semakin besar pertumbuhan laba, PER akan semakin tinggi, bisa jadi tidak dikali dengan 100 lagi tetapi lebih daripada 100. Tapi untuk penyederhanaan maka yang dipakai hanya angka pertumbuhan labanya saja.

Angka pertumbuhan laba jangka panjang dapat diperkirakan berdasarkan data pertumbuhan historis misalnya selama 10 tahun belakangan. Perkiraan tersebut dapat disempurnakan lagi dengan membandingkan dengan pertumbuhan selama 5 tahun, 3 tahun, 1 tahun dan pertumbuhan terkini.

Perlu dipahami juga apabila semakin besar laba, maka semakin susah untuk mengharapkan pertumbuhan yang sama seperti pertumbuhan jangka panjangnya. Tentunya akan lebih susah mengharap pertumbuhan yang sama untuk laba Rp 1 triliun daripada dengan laba yang Rp 10 miliar.

Selain itu juga perlu dipertimbangkan adanya corporate action yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan laba sementara waktu, misalnya adanya right issue, akuisisi, investasi, divestasi, dll.

Berikut ini adalah tabel perbandingan PER dengan acuan PER yang sama untuk setiap pertumbuhan (Tabel 1) dan PER yang berbeda disesuaikan dengan pertumbuhan laba (Tabel 2).

Terlihat jelas kalau acuan PER yang sama, maka pada tahun ke-10, saham dengan pertumbuhan 30% akan sangat jauh PER-nya dibandingkan dengan saham dengan pertumbuhan 5%. Sedangkan apabila diberikan PER yang berbeda untuk saham dengan pertumbuhan 5% sebesar 5x dan untuk saham dengan pertumbuhan 30% sebesar 30x, rupanya pada tahun ke-10, PER saham dengan pertumbuhan 30% (PER 30x) masih lebih rendah daripada saham dengan pertumbuhan 5% (PER 5x)






Bunga Deposito Sebagai Acuan PER

Jika bank memberikan Anda bunga deposito sebesar 10% berapakah PER layak yang dapat Anda berikan untuk sebuah saham?

Jika suku bunga deposito dianggap sebagai investasi yang bebas risiko, maka suku bunga deposito dapat dijadikan pedoman valuasi PER.

Untuk saham yang dapat memberikan laba per lembar (EPS) sebesar Rp 100 per tahun, jika Anda ingin BEP dalam waktu 10 tahun maka Anda akan memberikan PER sebesar 10x. Jadi harga saham menjadi Rp 1.000 yaitu dari perkalian 10 x Rp 100. Selama 10 tahun tersebut, Anda akan menerima hasil dari EPS (jika semuanya dibagi sebagai dividen) sebesar Rp 1.000.

Jika deposito bisa memberikan hasil sebesar 10%/tahun, maka tanpa melihat seluruh aspek pajak dan bunga majemuk seluruh modal Anda juga akan kembali selama 10 tahun.

Kalau depositonya sebesar 5% per tahun, maka BEP akan mencapai 20 tahun. Untuk mencapai angka BEP 20 tahun, maka PER adalah 20x juga bukan?

Jadi berikut ini daftar perbandingan bunga deposito vs PER yang setara
Bunga              PER
5%                    20
6%                    16,67
7%                    14,29
8%                    12,50
9%                    11,11
10%                  10

Bagaimana kalau suku bunga deposito cuma 1%, apakah PER menjadi 100x? BEP-nya juga 100 tahun? Bagaiamana kalau suku bunganya 20%? Nampaknya kita cuma dapat jadikan suku bunga deposito sebagai acuan jika angkanya tidak jauh dari antara 5-10%.

Baca juga artikel lain mengenai Pertumbuhan Laba Sebagai Acuan PER.



Selasa, 16 Juli 2013

Saham Big Cap Paling Murah


Pada artikel sebelumya sudah ditulis mengenai Saham Paling Hebat & Paling Murah. Namun tampaknya daftar tersebut tidak banyak menampilkan saham-saham kapitalisasi besar (big cap). Selain itu, saham-saham kapitalisasi besar kalau cuma diharga dengan PER 7 untuk pertumbuhan 10% nampaknya terlalu kecil.

Berapakah PER yang cocok untuk saham-saham kapitalisasi besar?

Saya ambil PER 15 untuk pertumbuhan 15%.

Jika berdasarkan pertumbuhan laba 10 tahun dianggap data yang terlalu panjang dan tidak begitu mencerminkan kondisi terkini, maka saya ambilkan data selama 3 tahun terakhir, yaitu perbandingan data tahun 2009 dan 2012.

Oleh karena data yang diambil adalah data selama 3 tahun, maka target harga juga saya buat hanya selama 3 tahun ke depan untuk mengantisipasi perkembangan yang tidak pasti.

Dengan PER 15 dan pertumbuhan 15% per tahun, maka pada tahun:
ke-1 EPS 1 akan menjadi 1,15
ke-2 EPS 1,15 menjadi 1,3225
ke-3 EPS 1,3225 menjadi 1,52 (dibulatkan)

Sehingga pada tahun ketiga, harga Rp 15 menjadikan PER : 15/1,52 = 9,87.

Maka inilah daftar 19 saham big cap yang paling murah (diskon) dan paling mahal (premium) berdasarkan pertumbuhan laba 3 tahun terakhir dengan target PER pada tahun ketiga tersebut adalah 9,87.








Kinerja Sektoral 15 Tahun


Berikut ini adalah kinerja sektoral selama 15 tahun dari mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2012


Nampaknya semua sektor menyumbang hasil yang bagus dengan sektor consumer goods adalah yang terbaik. 

Namun apabila kita memilahnya menjadi 5 tahunan, maka sektor consumer goods ternyata pernah bukan yang terbaik tetapi malah adalah yang "terburuk".

Berikut ini kinerja sektoral selama 5 tahun dari mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2007:


Yang paling baik dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 adalah sektor pertambangan dan agrikultur dan sektor consumer good adalah yang paling "buruk". Biarpun berhasil mencatatkan hasil gemilang selama tahun-tahun tersebut, sektor tambang dan agrikultur dengan cepat memasuki masa pertumbuhan minus untuk masa 5 tahun kemudian antara mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Berikut ini datanya:

Bagaimana dengan tahun 1998 sampai dengan tahun 2002? Ternyata 5 tahun tersebut merupakan tahun penuh "kekurangan gizi" karena IHSG sendiri cuma naik 6% selama 5 tahun. Berikut ini datanya:





Apa kesimpulan dari data sektoral dia atas?

1. Sektor yang terbukti paling tahan banting adalah sektor consumer goods. Selama kurun waktu 1998 sd 2002 (yang merupakan 5 tahun terburuk untuk kurun waktu 15 tahun terakhir), sektor ini masih bisa tumbuh 15% per tahun sedangkan IHSG cuma 1% per tahun.

Selain itu selama kurun waktu 15 tahun terakhir sektor consumer goods berhasil tumbuh 23% yang merupakan pertumbuhan yang paling baik.

2. Sektor pertambangan dan agrikultur yang merupakan sektor yang sangat tergantung dengan harga komoditas. Komoditas sendiri selama ini harganya dipercayai mempunyai siklus. Pada siklus naik, maka sektor ini akan mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih tinggi daripada sektor-sektor lainnya. Sektor ini berhasil mencatat kenaikan fantastis pada kurun waktu tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.

3. Sektor properti dan kontraktor selama kurun waktu 15 tahun terakhir mencatat kinerja yang paling buruk, namun agaknya sektor ini tidak akan selamanya seperti itu. Bakal cemerlangnya sektor properti dan kontraktor sudah terlihat pada kinerja sektoral tahun 2013. Berikut ini datanya:

4. Dengan membandingkan kinerja sektoral 15 tahun terakhir, dengan kinerja pada tahun ini, kita dapat membandingkan sektor mana yang naik tahun 2013 melebihi rata-rata historisnya dan sebaliknya. Apakah sektor yang tampil lebih baik dari masa-masa lampau bakal merupakan sinyal kalau sektor tersebut memasuki masa "keemasannya?". Tentunya perlu diperhitungkan kembali pertumbuhan pada tahun-tahun mendatang lagi. Perlu dibandingakan antara pertumbuhan laba emiten-emiten yang masuk sektor tersebut tahun ini dengan pertumbuhan harga sahamnya.

5. Krisis ekonomi yang hebat ternyata memerlukan waktu pemulihan yang cukup lama. Tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 merupakan awal dan masa-masa pemulihan dari krisis ekonomi besar. Setelah masa pemulihan selesai, maka saham-saham justru akan mencetak masa-masa pertumbuhan yang sangat fantastis. Maka krisis dapat juga dipandang sebagai sebuah kesempatan besar untuk melakukan investasi.

6. Dengan strategi yang baik, apabila kita bisa berhasil memanfaatkan momentum setiap sektor, maka hasil investasi benar-benar akan sangat cemerlang.

Pertumbuhan Saham vs Laba

Apakah pertumbuhan laba mempunyai hubungan dengan pertumbuhan harga saham?

Perhatikan tabel berikut ini yang memuat informasi pertumbuhan laba selama 5 tahun sampai dengan tahun 2012 dan pertumbuhan harga selama 5 tahun sampai dengan tahun 2012.

Rata-rata pertumbuhan harga 18 saham big cap selama 5 tahun terakhir adalah 23% sedangkan pertumbuhan labanya 30%.


Kinerja Sektoral 5 Tahun

Selama kurun waktu 2007 sampai dengan 2012 beberapa sektor mempunyai kinerja yang lebih baik dan beberapa lagi lebih buruk.

Selama 5 tahun tersebut IHSG mencatat pertumbuhan 9,47% per tahun. Dan ternyata sektor yang paling hebat selama 5 tahun terakhir adalah sektor consumer goods yang mencatat pertumbuhan 29,14% dan yang terburuk adalah sektor tambang sebesar -10,64%.

Berikut ini tabel perbandingan kinerja sektoral selama 5 tahun sampai dengan tahun 2012 dibandingkan dengan kinerja sektoral semester I 2012 :



Sabtu, 13 Juli 2013

Saham Paling Hebat & Paling Murah

Mengenai Super Companies sudah dibahas pada artikel sebelumnya di: The Super Companies.

Selain Super Companies, Parahita juga memberikan daftar perusahaan lain yang termasuk sangat cemerlang. Lihat daftarnya di sini : Remarkable Companies.

Namun perusahaan mana yang paling murah dari perusahaan-perusahaan super tersebut?

Bagaimana kalau patokan murah tersebut hanya melihat dari metode PER dan membandingkannya dengan pertumbuhan labanya?

Perbandingan antara PER dan pertumbuhan telah dibahas pada artikel sebelumnya di sini : Rahasia PER vs Pertumbuhan dan berapa PER yang wajar telah di bahas di sini: Berapakah PER Wajar?

Dengan anggapan PER yang wajar untuk pertumbuhan laba 10% adalah 7, maka pada tahun ke-10, PER tersebut akan menjadi 2,7 jika harga tidak berubah.

Perhitungannya ditunjukkan dengan cara seperti ini:

EPS Rp 1 --------------------------------------------> PER 7
Harga saham ----------------------------------------> Rp 7
Pada tahun ke 10, maka EPS akan menjadi:----> Rp 1 x ( (1+10%)^10) = Rp 2,59
PER pada tahun ke-10 adalah---------------------> Rp 7/ Rp 2,59 = 2,7

Berdasarkan data Parahita yang dikembangkan lagi, maka inilah daftar saham paling murah/diskon dan paling mahal/premium dari saham paling super dengan data laporan terakhir 2012 dan harga saham 28/06/2013. Patokan PER wajar yang dipakai adalah 7 untuk pertumbuhan 10% :



Berapakah PER Wajar?

Tulisan kali ini berhubungan dengan tulisan sebelumnya Rahasia Per vs Pertumbuhan Laba.

Sering kita bingung untuk menentukan PER yang wajar pada sebuah saham. Salah satu kunci utama yang dapat dijadikan dasar penentuan adalah pertumbuhan laba.

Ternyata untuk mencapai pertumbuhan yang sama pada tahun ke-10 dari sebuah saham dengan pertumbuhan 10% dan dengan 20% perbedaannya sangat jauh.

Pada tahun ke-10 untuk saham yang pertumbuhannya 10% dengan tingkat PER awal 10 maka harga awal di Rp 10 akan menjadi PER 3,86 pada tahun ke-10 jika harga tidak berubah. Untuk mencapai PER yang sama sebesar 3,86 tersebut ternyata PER yang diperlukan untuk saham yang pertumbuhannya 20% per tahun adalah 23,90.

Dengan dasar perhitungan tersebut kita dapat menentukan PER yang layak pada sebuah saham. Dengan pertumbuhan yang berbeda-beda, maka PER juga akan sangat berbeda-beda.

Berikut tabel perbandingannya:


Harga Awal
EPS Awal
PER Awal
EPS Tahun 10
PER Tahun 10
10%
            10.00
1
       10.00
                  2.59
                  3.86
15%
            15.62
1
       15.62
                  4.05
                  3.86
20%
            23.90
1
       23.90
                  6.19
                  3.86
25%
            35.95
1
       35.95
                  9.31
                  3.86
30%
            53.21
1
       53.21
               13.79
                  3.86
35%
            77.61
1
       77.61
               20.11
                  3.86

Kesimpulannya, ternyata saham dengan pertumbuhan yang tinggi, misalnya, 25% masih terlihat murah jika PER-nya masih 25 karena sebenarnya PER-nya bisa mencapai 35,95.

Pertanyaannya adalah, saham apa yang bisa mencapai pertumbuhan 25% per tahun selama 10 tahun?