Dalam menganalisis dan mengkalkulasi peroleha laba emiten tidak terlepas dari
ketentuan perpajakan yang melekat pada masing-masing emiten, khususnya tarif
pajak penghasilan badan.
Secara umum, sesuai dengan UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 tarif
pajak penghasilan saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak ini lebih seringnya tidak sama dengan laba sebelum pajak. Penghasilan kena pajak telah melalui berbagai koreksi dan penyesuaian pajak.
UU juga mengatur mengenai diperolehnya diskon khusus
bagi perusahaan terbuka yaitu sebesar 5% dengan persyaratan paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya. Jadi
emiten-emiten yang memenuhi syarat tarif pajaknya akan menjadi 20% saja.
Selain tarif umum sebesar 25% di atas, emiten-emiten
tertentu yang bergerak di bidang usaha tertentu dikenai tarif khusus yang
disebut sebagai PPh Final.
Pengenaan PPh secara
final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akan
dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada
saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang
dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di
muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk
penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini
tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum
bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong
atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Jadi PPh Final dikenakan terhadap jumlah pendapatan atau penjualan dan tidak memperhatikan lagi jumlah beban yang dikorbankan untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Ini berarti bisa saja emiten rugi namun mempunyai beban pajak. Bisa juga emiten untung sangat besar namun beban pajaknya rendah.
Beberapa bidang usaha emiten yang perlu diperhatikan
tarif PPh Finalnya adalah antara lain, emiten bidang konstruksi, penjualan dan
sewa properti, dan pelayaran.
Emiten Bidang Jasa Konstruksi
Tarif PPh Final untuk emiten bidang konstruksi
ditentukan sebagai berikut ini:
Emiten Bidang Properti
Untuk emiten yang melakukan penjualan properti
(pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan) maka akan dikenakan PPh Final
sebesar 5% dari penghasilan bruto.
Untuk emiten yang melakukan usaha penyewaan properti
akan dikenakan PPh Final sebesar 10%
dari penghasilan bruto.
Emiten Bidang Pelayaran
Dalam Negeri
Untuk emiten bidang pelayaran dalam negeri dikenakan PPh
Final sebesar 1,2% dari penghasilan
bruto.
Emiten yang menerima
penghasilan lain yang dikenai PPh Final
Beberapa penghasilan lain yang dikenaikan PPh Final
antara lain adalah
- Bunga tabungan, deposito dan SBI yang dikenakan PPh Final sebesar 20%.
- Penjualan saham di bursa efek yang dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai penjualan.
Emiten yang bergerak di bidang asuransi dan investasi
yang mempunyai portofolio deposito dan efek-efek akan terpengaruh terhadap
tarif-tarif pajak tersebut di atas.
Selain tarif umum dan tarif khusus berupa PPh
Final, bagi perusahaan-perusahaan bidang pertambangan yang mempunyai Kontrak
Karya dengan pemerintah, tarif PPh Badannya diatur secara sangat khusus.
Contohnya adalah ADRO yang mempunyai tarif PPh sebesar 45%.
OOT: Jangan kaget jika Anda berada di Medan dan diajak kenalan untuk mengunjungi pajak karena istilah sehari-hari "pajak" di Medan adalah sama dengan pasar.
Suasana di salah satu "Pajak" di Medan (Sumber: Jia.Xiang.Biz) |
Pak, berarti yg dimaksud sini, utk emiten2 khusus yg dikenakan PPh final, juga sekaligus dikenakan Pajak umum yg ranging dari 20%-25%, ya?
BalasHapusKalau pendapatannya sudah dikenaikan PPh Final tentu saja tidak kenakan lagi PPh tarif umum. Kecuali ada penghasilan lain yang belum dikenakan PPh Final.
BalasHapus